3 April 2017

What is Wrong? What is RIght?

What is wrong? And what is right?
Waahh disela-sela kuliah yang semakin padat, nampaknya organisasi itu masih menghantui pikiran saya. 

Begini, teman-teman saya kok ya bisa segalau itu? Nanti ikut. Nanti ngilang ngilang. Nanti bangga banggain nama organisasi. Nanti disuruh ngeSAR ga mau. Nanti ikut program. Nanti males program. Loh kok ya galau,

Lalu, banyak juga selentingan selentingan, "Banyak tuh orang hebat di organisasi itu." Iya sih. Tapi sepengelihatan saya, banyak juga yang biasa aja. Wah mungkin karena saya memang anaknya tidak aktif. Iya atuh. Saya mah bukan apa apa bukan siapa siapa.

Temen temen sudah ada yang sombong. Iya. Sombong. Baru punya ilmu sebesar itu aja sombong. Baru punya jasa sebesar itu aja sombong. Padahal, statusnya masih sama kaya saya. 

Selain itu, ga kebayang sama orang-orang disana yang ngeremehin kuliah. Yang nyuruh bolos kuliah buat program. Yang kuliah gampang bisa disambi. Wah memang dia sendiri udah pernah ngerasain kuliah? Lagian kan beda kampus beda pula polanya. Mungkin kampus dia yang ga kuliah aja bisa wisuda kali ya. 

Saya, yang masih 19 tahun sudah kebayang pengen jadi apa, pengen memberikan hidup yang layak untuk anak saya, dan sayangnya bukan anak orang kaya, ya harus usaha. Aduh, kalau kuliah saya ga beres saya mau jadi apa? Yang sarjana aja banyak yang nganggur. Saya ga bilang lulusan SMA ga bisa kerja, tentu bisa, tapi dengan taraf tertentu (pada umumnya), yang akan memberikan kualitas hidup sedemikian rupa juga pada anaknya.

Saya orang bodoh. Saya orang ga baik. Tapi insyaallah saya sudah mikirin gimana caranya usaha yang terbaik saat ini, untuk memberikan yang terbaik untuk anak dan suami saya nanti.

Saya orangnya ga suka bales dendam, tapi saya suka nungguin karma. Saya ga sabar, 5 tahun lagi, mereka yang meremehkan kuliah itu pada jadi apa ya? Saya ga sabar untuk berkembang dan berusaha sedemikian rupa uga hingga 5 tahun kedepan. Saya, ga suka balas dendam, tapi masih suka ngestalkin orang yang dulu pernah menyinggung saya, dan ketawa karena hidupnya ga kemana-mana ga berkembang.

Wah jadi manusia itu harus baik boy. Walaupun saya imannya ga bagus bagus amat, tapi insyaallah saya ga akan ngelakuin sesuatu yang dengan sengaja menyakiti, merugikan atau menyinggung orang lain. Takut malu kalau nanti orang itu hidupnya lebih baik dari saya.

Kembali lagi, Saya tadinya berdoa bahwa mereka yang selama ini meremehkan pilihan saya, akan melarat dan sengsara hidupnya beberapa tahun kemudian. Hanya berdoa. Biar saya bahagia tanpa balas dendam. Tapi, apa mungkin mereka yang benar dan saya yang salah?

Bahwa anak muda harus menggali potensi diri, mengabdi serta berkarya. Pendidikan bisa mengikuti. Rezeki bisa mengikuti. Apa mereka yang mengambil jalan yang benar dan saya salah?

Tapi saya kok orangnya sangat realistis ya, logikanya, seakan mereka membuang beberapa tahun di hidupnya. Misalnya gini, ini 2017.
  • Umur saya 19 tahun, mahasiswa semester 4. anggap saya fokus kuliah lalu lulus pada 2019. Setelah itu (insyaallah) menikah. Bila ada rezekinya, 2020 saya mengambil S2 selama 2 tahun. Kalau tidak, saya bekerja dari 2019 sambil berusaha mencari S2
  • Ada orang lain yang (misalnya) 23 tahun, entah tinggal skripsi atau sudah sarjana. Lalu orang lain itu mengabdi kepada organisasi (misalnya) 2 tahun. Setelah itu, melanjutkan hidupnya seperti biasa. Misalnya, berarti di amengabdi dari 2017-2019. 2019 mulai bekerja.
  • 5 tahun kemudian. Tahun 2022. Saya berumur 24 tahun. Kalau saya S2, kemungkinan pada 2022 saya sudah S1, S2 dan menikah. Bila saya bekerja, artinya saya sudah bekerja selama 4 tahun (dari 2019-2022)
  • 5 tahun kemudian. Dia berumur 28 tahun. Bila mulai bekerja pada tahun 2019, artinya dia sudah bekerja selama 4 tahun, sama seperti saya. 
  • TAPI. Dia di usia 28 tahun baru memiliki 4 tahun pengalaman kerja. Saya di umur 23 tahun memiliki 4 tahun pengalaman kerja.
  • Bukankah, sepenghitungan saya, dia menjadi lebih rugi?

Wah mungkin saya terlalu realistis. Tapi idealis juga ada batasnya.

Itu adalah sebuah foto yang saya dokumentasaikan sekitar Juli 2016, mengenai kegalauan hati saya mengenai sejauh mana saya akan mengikuti organisasi tersebut. Yang notabene harus mengorbankan (hampir) segalanya. Organisasi tersebut juga, tidak sepandangan secara ideologis dengan saya, bukan agama saya, bukan pula tempat dimana saya akan kembali (karena kembali adalah ke keluarga, menurut saya). Jadi, bukankah hal itu bukanlah apa-apa untuk saya, melainkan untuk kebahagiaan dan kebanggaan diri semata? Yang pasti, saya harus membaca tulisan Gie yang mencantumkan quotes tersebut, untuk memahami suasana hati dan lingkungan Gie saat menulisnya.

Kembali ke persoalan ini. Semua orang memiliki pilihan. Dan akan mengorbankan segalanya untuk mempertahankan keyakinannya. Keyakinan saya, adalah saya harus melakukan yang terbaik. Agar bisa menjadi seorang ibu yang memberikan contoh yang baik, serta taraf hidup yang baik bagi anak-anak saya kelak.

Yang sering saya 'kasihani' adalah mereka yang nampaknya, masih terlalu sering galau. Memilih pillihan hanya karena dipengaruhi. Orang-orang yang tidak memberikan waktu kepada dirinya sendiri untuk berdiam dan merenung. Berpikir. Menimbang. Mengukur. Kalau lagi marah, bilangnya capek ga mau lanjut. Kalau lagi senang, segalanya dilakukan untuk organisasi. Jangan cinta terlalu cinta, (hanya mengingatkan). Padahal kebanyakan mereka lebih tua dari saya, tapi kok ya jadi manusia seperti 'ngikut arus' dan ga pake pakem?

Oia, pilihan untuk melanjutkan kegiatan di organisasi kadang baik loh. Malah sangat baik. Untuk orang orang yang lulus SMA lalu masih bingung mau melanjutkan kemana, atau mau kuliah tapi tidak ada dana, jalan ini bisa jadi jalan dan tempat pendidikan yang baik. Daripada nganggur nganggur ga jelas dan ga berfaedah.

Ini salahsatu pandangan, sekaligus curhatan hati saya. Yang mungkin tajam nun menohok, tapi tentu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu lingkungan yang spesifik. Dan setahu saya, kita semua bebas menuliskan pandangan dan pendapatnya, selama tidak mencederai hak orang lain. Jadi saya anggap, (terutama karena saya tidak mempost tulisan ini di social media saya), maka, tulisan ini adalah bebas untuk saya taruh di laman pribadi saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar