27 September 2016

Menikah Muda

Sungguh yang akan paling terganggu dengan judul ini adalah Tuan Tias Arifiandi Nugraha. Pardon me bby.

Dimulai dari pada zaman dahulu kala, disaat gue adalah seorang remaja yang bercita-cita untuk jadi seorang wanita karir yang luar biasa sukses. Biar bisa beli Rubicon. It's my dream car! Atau sekedar beli tas seharga puluhan juta. Or shoes! Sejak kelas 1 SMA, hampir setiap hari gue jalan-jalan di selasar Grand Indonesia, ngeliat sepatu-sepatu dan tas-tas mahal that I can't afford if I don't work hard and study well.

Yang ada di bayangan gue dulu adalah, pada pertengahan 20-an, Aisyah Jasmine Yogaswara adalah seorang pengacara yang mulai merintis karirnya, kerja di lawfirm bagus, dengan sallary yang baik pula. Kerja di Jalan Jendral Sudirman, ya, di pusat kota. Karena hanya perusahaan bagus yang mampu bayar tempat disana. I am willing to work until 3 am, because I'm young and have much energy. I imagined myself live in an apartment downtown, go to gym every morning before I go to work. Live my life well. Wear fine clothes and drive a fine car. 

I don't want to marry. Karena gue dulu berpikir bahwa wanita yang menikah muda akan kehilangan banyak hal. Mulai dari pendidikannya, karir yang bagus, sampai kebebasannya untuk bisa main dan nongkrong sama siapa aja. Gue bahkan sempat berpikir untuk punya bayi tabung karena gue mau punya anak tapi ga mau menikah, karena have  baby is a sweet things but having a hubby is just going to make my life harder. I really considered to have a donor from bank sperma u kno' haha

But then I met him and suddenly, he changed my mind. I want to married! Soon!

Bukankah menyenangkan bisa tinggal serumah sama orang yang disayang, bisa ketemu setiap pagi dan malam hari. Pulang ke bawah atap yang sama. Tidur di atas kasur yang sama. Anjay. Bisa ngeliat orang yang disayang setiap bangun tidur, dan lalu tau harus bikinin sarapan buat siapa. Dan yang terpenting, tanpa harus mengorbankan semua hal yang gue cita-citakan. 

Ternyata menikah itu bukan sebuah penjara untuk wanita kok, selama suaminya tetap mengizinkan istrinya untuk melakukan hal-hal yang diinginkan. Kenapa terus kalo menikah ngga bisa jadi wanita karir selama suaminya mengizinkan? Toh suaminya kan kalo siang ga ada dirumah, ga harus kan seorang wanita diem aja dirumah tanpa kegiatan nunggu suaminya pulang. Memang sih mungkin kaau sudah menikah, akan ga etis kalo setiap hari pulang jam 3 subuh. But I really wish that my future-hubby will understand. I still can have my Rubicon. Malah mungkin lebih cepat, karena yang kerja dua orang jadi penghasilannya dikali dua.

I can finish my education too! Bukan berarti kan setelah menikah gue harus jadi ibu rumah tangga yang ga kuliah. Karena untuk mendidik seorang anak yang pintar, ibunya harus pintar juga. Harus berpendidikan. Seorang wanita itu ga boleh bodoh, kasian anaknya nanti dididik sama orang bodoh. Malu sama anak juga kalo nanti kita mau dia sekolah tinggi, tapi pas dia nanya ke orang tuanya, orang tuanya jawab pendidikan orang tuanya cuma SMA. Bahkan gue berencana untuk mengambil S2 setelah luus nanti. Karena seorang anak harus punya pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya, malu sama ibu yang S1 Ekonomi UI .So yes, ini 2016, sarjana bertebaran dimana-mana so i have to get my master. 

Menyenangkan bukan sih bisa travelling berdua sama suaminya kemana-mana. Dan kalo ke Aceh bisa sekamar soalnya udah punya buku nikah. Iya di Aceh kan ga boleh sekamar kalo belum nikah. Walaupun di Bali boleh. tapi kan mau jalan-jalannya dari Aceh sampe Papua, dari nyelem bareng sampe ke puncak Kartenz. Selama belum punya anak sih.

Gue ga pernah berpikir bahwa punya anak adalah beban, tapi menurut gue, pertimbangan untuk punya anak adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Karena punya anak bukan cuma soal bikinnya atau ngurusnya waktu bayi, tapi juga ikut memikirkan pendidikannya, masa depannya, memastikan gue akan punya cukup waktu buat ngurusnya, mmberikan kasih sayangnya, dan lain-lain. Gue ga pernah keberatan untuk bekerja 24/7 untuk mendapatkan kehidupan dengan taraf hidup yang baik, yang gue tau gue harus sangat bekerja keras setelah lulus kuliah nanti. Tapi gue entah kenapa ngga rela kalau anak gue harus ngerasain hal itu juga. Gue mau saat dia ada, gue udah bisa memberikan semua yang dia butuhkan. Terutama pendidikan yang baik, yang notabene mahal. 

So now I really wish that I could marry before I'm 22, get my bachelor degree before I'm 23, get my master degree before I'm 26, have a baby before I'm 30, and buy my dream-car before I'm 36.

Well I think getting married is going to be fun! It's like a new adventure. It's like opening a new page of my life. I rlly cant wait this new kind of adventure to happen! :)