23 Juli 2015

PERKAWINAN

Disusun oleh:
Aisyah Jasmine Y (110 110 150 172)

Di presentasikan pada tanggal2 Desember 2015

UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS HUKUM
2015/2016

A. Pengertian Perkawinan
Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna etimologis, syar’i, dan hukum . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawin ialah membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah: ia -- dengan anak kepala kampung; melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); bersetubuh: -- sudah, menikah belum; perkawinan;
Secara etimologis, seperti yang terdapat dalam Al-Quran dan hadist, perkawinan disebut dengan an-nikh dan az-ziwaj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u, adh-dhammu, dan al-jam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a – yatha’u – wath’an, artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma – yadhummu – dhamman, secara harfiah berarti mengumpulkan, memgang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan. Sedangkan al-jam’u yang berasal dari akar kat jama’a ¬– yajma’u – jam’an, berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahan dan menyusun.

B. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Perkawinan diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 yang merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena di dalamnya menampung prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini diperjelas dalam pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nasional ini. 

Seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

C. Syarat-Syarat Dan Rukun-Rukun Perkawinan
1. Syarat-Syarat Perkawinan
Yang dimaksud dengan syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan ialah:
a) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
b) Dewasa
c) Beragama sama
d) Tidak dalam hubungan nasab, yang dimaksudkan dengan hubungan nasab, ialah hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak.
e) Tidak ada hubungan rodhoah, rodhoah ialah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu. 
f) Tidak semenda, artinya kedua calon tidak mempuyai hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibudan menantu, anak dan ibu/bapak tiri, dan anak bawaan dalam perkawinan ibu bapak.
g) Tidak dalam masa Idah, yaitu masa dimana seorang wanita menanti perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya, telah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. 



2. Rukun-Rukun Perkawinan
Yang dimaksud dengan rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan. Adapun rukun perkawinan mewajibkan adanya:
a) Calon pengantin pria dan wanita
b) Wali, ialah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya. Ada 3 macam wali dalam perkawinan islam adalah:
Wali nasab, ialah wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita baik vertical maupun horizontal.
Wali hakim, adalah wali yang ditugaskan oleh kepala negara yang beragama islam untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki pilihannya.
Wali muhakkam, adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercayakan oleh kedua belah pihak untuk menikahkan di tempat itu asal memenuhi syarat.
c) Saksi
d) Mahar 
e) Akad nikah

D. Proses Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hal yang sakral, untuk mempertahankan kesakralannya, ada proses-proses yang harus diikuti secara runtun. Dengan mengikuti proses perkawinan secara baik, benar dan teratur, diharapkan perkawinan akan menjadi awal yang baik bagi kedua mempelai.  Proses perkawinan diantaranya:
1. Saling mengenal, maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya, dan informasi lain yang memang dibutuhkan.
2. Nazoh (melihat calon pasangan hidup), ada dalil bahwa sunnah hukumnya melihat wanita (calon pasangan) sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan bila ternyata pria tersebut membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak  menyenangi wanita tersebut.
3. Khitbah (peminangan), apabila seorang lelaki telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
4. Akad nikah, akad nikah merupakan ikrar yang diucapkann oleh pihak pria dan wali dari pihak pertama. Akad nikah disebut juga ijab kabul, ijab berupa penyerahan dari wali pihak wanita sementara kabul adalah penerimaan dari pihak pria.

E. . Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Islam
Surah (4) An-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa, “Laki-laki itu pengurus atas perempuan-perempuan karena allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian dan dengan sebab (nafkah) yang mereka belanjakan dari harta-harta mereka.” Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad.
Suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab dalam mencari nafkah dan memelihara kelangsungan hidup keluarga. Dalam hadist Al-Ghazali, diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah membayar mahar, memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), menggaulinya dengan baik, serta berlaku adil jika beristri lebih dari satu.  
Sebaliknya, istri sebagai ibu rumah tangga tanggung jawabnya lebih dititikberatkan kepada suasana rumah terutama bidang pembelanjaan. Istri sebagai pendamping dan makmum dari suami juga memiliki kewajiban yang wajib dipenuhi. Menurut hadist Al-Ghazali, diantara kewajiban istri terhadap suaminya diantaranya, menyerahkan dirinya, mentaati suami, tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, dan menggauli suami dengan baik

F. Putusnya Suatu Perkawinan
Islam mengizinkan adanya suatu pembubaran perkawinan. Pembubaran(putusnya) perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan terjadi dalam dua peristiwa :
1. Kematian salah satu pihak.
2. Putus akibat perceraian, karena adanya:
a. Talak atas inisiatif suami.
b. Khuluk, yaitu perceraian atas inisiatif istri agar suami mau menceraikan dengan baik-baik dan mendapat ganti rugi atau tebusan (iwadl).
c. Fasakh, yaitu putusnya perkawinan atas keputusan hakim Pengadilan Agama, karena dinilai perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat atau rukun-rukunnya baik disengaja maupun tidak disengaja.
d. Syiqoq, yaitu konflik antar suami-istri yang tidak dapat didamaikan lagi
e. Melanggar talak-taklik, yaitu pelanggaran janji yang telah diucapkan saat akad nikah. 
Selain itu, suatu pembubaran suatu perkawinan juga dapat terjadi dengan sebab-sebab berikut , yaitu :
1. Ila’ , yaitu sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya.
2. Zihar, adalah suami menyerupakan istri dengan perempuan.
3. Li’an ,yaitu sumpah suami sebanyak empat kali yang menuduh istrinya telah berbuat zina. Dan apabila Li’an sang suami benar, maka konsekuensinya suami-istri tersebut bercerai selama-lamanya dan tidak dapat rujuk kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar